rss
email
twitter
facebook

Senin, 02 Agustus 2010

TEMAN yang 'HILANG'

Tanggal satu Agustus 1996, itu tepat empat belas tahun yang lalu. Kini tepat ditanggal yang sama, jam yang sama hanya hari yang berbeda. Dahulu, hari itu adalah hari minggu, hari yang paling aku tunggu dalam setiap minggunya. Senin, ya hari ini adlaah hari senin, meski hari itu bergeser satu arah ke kanan dari kalender yang biasa aku lihat tapi rasanya berbeda. Dahulu, setiap hari minggu aku dan dia bermain dan berbicara tentang apapun. Bebas, tidak ada batasan bahkan jika ada seseorang yang mengatakan aku aneh, aku tidak pernah menghiraukannya. Tapi kini, dia tak pernah datang lagi tepat semenjak tanggal satu agustus empat belas tahun yang lalu iru, dia tak pernah lagi datang.

Perkenalkan, namaku Kirana. Orang-orang lebih sering memanggilku Rana. Kini usiaku 20 tahun. Jika ditanya ‘seperti apakah aku’, yang bisa aku gambarkan adalah aku hanyalah gadis biasa, mahasiswi dari salah satu universitas negeri di kota Bandung. Hidupku? Hidupku, layaknya teman-temanku yang lain namun tidak banyak teman yang aku miliki. Mungkin karena mereka menganggapku gadis aneh. sering melamun dan sering berbicara sendiri. Hanya dua teman yang selalu setia menemani aku Zira dan Rizal. Mereka temanku sejak kecil dana hanya mereka yang tau mengapa aku menjadi pribadi seperti sekarang.

“Rana! Ngelamun lagi.” Rizal mengangetkanku dari belakang. Dia memang, sosok yang sering memberiku kejutan. Dari tubuh, kulihat Zira mendongakkan kepalanya.

“Iya nih, ngelamun lagi. Mikir apa sih?” Zira bertanya padaku.

“…., ehm, mikir..mikir Jojo.” Jawabku singkat.

Raut muka Rizal dan Zira seketika berubah saat mendengar nama Jojo meluncur dari mulutku. Saat itu juga Rizal bertanya padaku. Disimpannya tas ransel Eiger hitam di dekat kakinya.

“Jojo? Kamu nggak salah ngomong Ran?” Rizal menanyakan hal yang sepertinya ingin dia tanyakan dari dulu namun pertanyaan itu tidak pernah keluar dari mulutnya karena tak ingin membuatku terusik. Tanpa melihat mukanya ku jawab pertanyaan Rizal. “Iya, Jojo semalam dia datang. Katanya dia ingin berbicara padaku.” Kusadari, Rizal mendekatkan duduknya ke arahku, Zira kini duduk persis dihadapanku dengan bersila, maklum hari itu kami duduk di taman kampus sebelah jurusan psikologi, psikologi tempatku kuliah.

“Oh ya? Jojo berbicara apa?” Zira melanjutkan pertanyaan Rizal seperti tahu apa yang ingin Rizal tanyakan kepadaku. Karena pertanyaan yang diajukan Zira, kini pikiranku malayang pada mimpi yang aku alami tadi malam.

Aku berada diberanda lantai dua rumahku. Beranda itu mirip dengan taman kecil yang disusun sekenanya dengan tanaman anggur yang ditata sebagai peneduh di kala panas. Saat itu Jojo sedang berada dikursi taman, dengan buku yang selalu dibawanya. Jojo seorang lelaki paruh baya berumur 40 tahun, berkulit sawo matang dengan pakaian kasual yang dia gunakan dahulu, selalu sama setiap dia bertemu denganku, jeans dan kemeja polo berwarna putih yang selalu dia gunakan. Tak lupa kacamata yang selalu menggantung diwajahnya membuatnya membuatnya terlihat lebih berwibawa dari biasanya. Ketika aku memasuki beranda, Jojo menenggokkan wajahnya, terlihat tersenyum simpul. “ Hai Ran, lama tidak bertemu. Kamu kangen sama aku nggak?” Jojo bertanya saat aku mulai mendekati dia. “Sini duduk.” Jojo menunjukkan sisi kosong di kursi taman itu, tepat disebelahnya.

“Kamu sekarang sudah besar ya.” Jojo kembali mengutarakan kata-kata sebelum sempat aku bertanya. “Sekarang kamu makin cantik.” Aku pun duduk disebelah Jojo. Aku masih termenung melihat wajahnya, memastikan bahwa dia adalah Jojo yang 14 tahun lalu selalu menemaniku untuk bermain dan berbicara apa saja denganku.

“Jojo kemana aja?” aku mulai berani menanyakan hal yang ingin aku tanyakan sejak dulu. Jojo kini merubah posisi duduknya, dia menyerongkan badannya ke arahku. “Jojo nggak kemana-mana, dari dulu selalu disini. Rana yang kemana.” Jojo kini mengganti posisi duduknya. Dia duduk bersila dihadapanku merendahkan tubuhnya hingga posisi itu kembali seperti 14 tahun yang lalu. Tepat saat terakhir kali aku dan Jojo memposisikan layaknya ayah yang berbicara pada putrinya.

“Sayang, Jojo nggak pernah pergi. Jojo selalu ada disini.”

“Tapi kok Jojo baru datang lagi. Kemarin-kemarin kemana ?”

“Kemana? Ada kok. Jojo malah nunggu Rana disini buat bacain buku cerita. Tapi Rana nggak datang-datang. Hayo, Rana kemana aja?” Jojo dengan wajahnya yang kebapakan berbicara dengan nada yang rendah.

Kini pikiranku kembali ke-14 tahun yang lalu. Saat itu aku, papa dan mama berencana untuk liburan ke taman safari. Mobil sudah dinyalakan, papa, mama dan aku sudah berada di dalam mobil. Hari minggu, memang hari libur keluarga yang kau paling sukai karena kami sekeluarga pergi bersama dan ketika pulang aku bisa menceritakan semua pengalamanku pada Jojo, teman khayalannku. Jojo tiu seorang laki-laki yang sifatnya mirip sekali dengan ayah dan ibuku, penyabar dan senang untuk bercerita bahkan mendengarkan cerita dariku. Hari minggu itu kami sekeluarga pergi ke taman safari melalui jalan puncak. Entah mengapa kali ini papa mengendarai mobil dengah cara yang tidak biasa. Pelan, sangat pelan. Di belokan puncak, tampak truk bergerak turun dari belokkan, namun aneh truk itu tidka berbelok, dia melaju lurus kearah mobil kami dna tak terakhir yang aku ingat adlah aku terbangun di rumah sakit dengan perban dikepalaku. Semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan papa dan mama. Pihak rumah sakit memasukkanku ke yayasan yatim piatu karena tidak ada keluarga yang menjemputku. Semenjak itu aku tidak pernah bertemu dengan Jojo, aku menjadi gadis pendiam bahkan ketika dua anak yatim piatu lain datang untuk mengajakku bermain, Zira dan Rizal. Mereka temanku yang selalu menemaniku meski kadang aku acuh pada mereka. Dan hingga saat ini mereka tetap ada disampingku.

Kini aku ingat, mengapa aku tak pernah bertemu Jojo lagi. “Sekarang sudah ingat?” Jojo mengembalikan ingatanku pada saat aku dan dia berbicara diberanda. Aku menganggukan kepada tanda mengerti. “Jojo datang ke sini karena Jojo ingin mengingatkan Rana. Rana nggak sendiri sayang, Jojo selalu ada didekat Rana. Rana nggak perlu datang ke beranda untuk berbicara dengan Jojo. Asal Rana percaya klo Jojo ada, Rana pasti liat Jojo. Sekarang keputusan Rana, mau percaya atau tidak. Sekarang, Rana tutup mata terus ketika Jojo bilang buka, Rana buka matanya.” Aku menuruti perintah Jojo, semenit, dua menit, suara Jojo tak kunjung terdengar memanggilku hingga menit kelima baru ku dengar.

“Bangun! Udah siang Ran.” Suara Zira memanggilku.

Ah Jojo kan yang manggil kok Zira?

“Iya nih, tidur aja. Bangun putri tidur.” Kini Rizal yang mengagetkanku. Ternyata dia sudah ada disebelahku untuk membereskan buku kuliah yang akan kita masuki hari ini.

“ayo mandi, satu jam lagi masuk kelas pak Rudi, klo terlambat gawat Ra.” Zira kini menarikku untuk mandi. Dengan pikiran yang masih terbayang Jojo ku langkahkan kakiku untuk masuk ke kamar mandi. Selesai mandi kami makan dan bergerak menuju kampus.

“Jojo selalu ada di dekat Rana. Asal Rana percaya, Jojo selalu ada di dekat Rana.”

“Ran, tadi malem kamu mimpi apa? Certain dong sama kita.” Zira membuka pembicaraan pagi itu.

“iya, ceritain apa aja kek.” Rizal menimpali.

*deg*

“Asal Rana percaya, Jojo selalu ada di dekat Rana.”


Jojo.

Mataku kini melihat Zira dan Rizal.

Kini kusadari apa maksud pembicaraan Jojo semalam. Sebenarnya semenjak 14 tahun yang lalu Jojo selalu ada di dekatku dan menungguku untuk berbicara padanya. Namun aku yang mengabaikan dia. Dan pembicaraanku tentang Jojo pada Rizal dan Zira ditaman tidak aku ceritakan seluruhnya. Hanya ku katakan.

“Jojo tadi malam datang untuk ngingetin aku klo dia sebenarnya selalu ada didekatku.” Senyumku tersimpul dengan menatap Zira dan Rizal secara bergiliran. Dan semenjak itu aku percaya, Jojo memang selalu ada untukku. Namun kini dia hadir dalam sosok yang berbeda, Zira dan Rizal.

0 komentar:

Posting Komentar